Jumat, 02 Maret 2012

asuransi syariah


Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta`min, penanggung disebut mu`ammin , tertanggung disebut mu`amman lahu atau musta`min. At-ta`min diambil dari kata amana yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut seperti yang disebutkan dalam QS Quraisy ayat 4.

Musthafa Ahmad Az Zarqa memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beraneka ragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya. Ia berpendapat bahwa sistem asuransi adalah sistem taawun dan taadhamum yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah oleh sekelompok orang tertanggung kepada orang-orang yang tertimpa musbah tersebut. Penggantian tersebut berasal dari premi mereka.

Di Indonesia sendiri, asuransi islam lebih sering dikenal dengan istilah takaful.

Dewan Syariah Nasional pada tahun 2001 telah mengeluarkan fatwa mengenai asuransi Syariah. Dalam fatwah DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 bagian pertama mengenai ketentuan umum angka 1, disebutkan bahwa pengertian asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.

Perkembangan asuransi islam di indonesia sudah lama terjadi. asuransi syariah dimulai sejak 1979 ketika sebuah perusahaan asuransi jiwa di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali memperkenalkan asuransi syariah. Kemudian pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab.

Setelah itu pada tahun 1981 sebuah perusahaan asuransi jiwa Swiss, bernama Dar Al-Maal
Al-Islami memperkenalkan asuransi syariah di Jenewa. Diirin,gi oleh penerbitan asuransi
syariah kedua di Eropa yang diperkenalkan oleh Islamic T\akafol Company (ITC) di
Luksemburg pada tahun 1983. , ^

Bersamaan dengan itu, sebuah perusahaan asuransi syariah bernama Islamic Takafol & Re-Rakafol Company juga didirikan di Kepulauan Bahamas pada 1983. Demikian juga halnya dengan Bahrain, sebuah perusahaan asuransi jiwa berbasis syariah, yaitu Syarikat Al-Takafol Al-Islamiah Bahrain didirikan tahun 1983.

Di Asia sendiri, asuransi syariah pertama kali diperkenalkan di Malaysia pada tahun 1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa bernama Takaful Malaysia.

Hingga saat ini asuransi syariah semakin dikenal luas dan diminati oleh masyarakat dan negara-negara baik muslim maupun non-muslim.

Konsep asuransi Islam berasaskan konsep takaful yang merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta. Kata takaful berasal dari bahasa arab yang berakar dari kata takafala-yatafakali. Ilmu tashrif memasukkan kata takaful ke dalam kelompok bina muta`adi yaitu tafaa`ala yang artinya saling menanggung atau menjamin. Untuk itu, harus ada suatu persetujuan dari para peserta takaful untuk memberikan sumbangankeuangan sebagai derma (tabarru) karena Allah semata dengan niat membantu sesame peserta yang tertimpa musibah seperti kematian, bencana dan sebagainya
Prinsip-prinsip Asuransi islam adalah sebagai berikut

1. Saling bertanggung jawab

2. Saling bekerja untuk bantu membantu

Dasar :
a. Q.S Al Maidah : 2 “ Dan Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolonglah dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
b. Hadist Rasulullah SAW “ Allah senantiasa menolong hambaNya selama ia menolong sesamanya(diriwaytkan oleh Ahmad dan Abu daud).
c. Hadist Rasulullah SAW “ Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya (diriwaytkan oleh Bukhari dan Muslim serta Abu daud).


3. Saling melindungi dari segala Kesusahan
Dasar :
a. QS Quraisy : 4 “Allah yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan
b. QS Al Baqarah : 126
c. Hadist Rasulullah SAW “ Sesungguhnya seseorang yang beriman itu ialah orang yang memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa raga manusia (diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
d. Hadist Rasulullah SAW “ Tidaklah beriman seseorang itu selama ia dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan tetangganya meratap karena kelaparan (diriwaytkan oleh Al Bazzaar)


PERBEDAAN ASURANSI SYARIAH DAN ASURANSI KONVENSIONAL
Di tabel yang ada di bawah ini menerangkan tentang perbedaan antara asuransi konvensional dan asuaransi syariah. Pada tabel ini baru dipaparkan 5 item, Insya Allah akan terus saya tambah.

No

Prinsip

Asuransi Konvensional

Asuransi Syariah

1.

Konsep

Perjanjian antara dua pihak
atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
pergantian kepada tertanggung.

Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara
masing-masing mengeluarkan dana tabarru’.

2.

Asal Usul

Dari masyarakat Babilonia
4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun
1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.

Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh
Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah.

3.

Sumber Hukum

Bersumber dari pikiran
manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya.

Bersumber dari wahyu Ilahi.
Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al Qur’an, Sunnah
atau kebiasaan Rasulullah, Ijma, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan,
Urf, tradisi, dan Mashalih Mursalah.

4.

“Maghrib” (Maysir, Gharar, dan Riba’)

Tidak sejalan dengan syariah Islami karena adanya
Maysir, Gharar, dan Riba’; hal yang diharamkan dalam muamalah.

Bersih dari adanya prakter
Maysir, Gharar, dan Riba’.

5.

DPS (Dewan Pengawas Syariah)

Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’/syariah.

Ada, yang berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah





Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).

Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, ‘Dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu.” Hadist Nabi Muhammad SAW, “Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu bangunan memperkuat satu sama lain,” Dan “Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan. Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh badan merasakannya.

Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi.

Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:

Akad (Perjanjian)


Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).

Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya “Majmu Fatwa” menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).

Gharar (Ketidakjelasan)


Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti.
Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.

Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.

Tabarru dan Tabungan


Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.

Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,”Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya.”(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).

Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.

Maisir (Judi)

Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,”Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan.”

Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya.

Riba


Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” Hadist, “Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama.”(HR Muslim)

Dana Hangus

Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).

Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.

Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah


Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.

Dewan Pengawas Syariah


Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.
Itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Apabila dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya, maka sistem asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar